Rabu, 12 Januari 2011

Pejabat Daerah dan Pusat Pengacau dan Korup Semua !

Ketika didaerah anda terjadi pelarangan membangun (rumah, ruko, rukan dll) pada suatu kawasan tertentu maka dapat dipastikan bahwa larangan itu datangnya dari Pemerintah setempat. Asumsi sementara ini dapat dijadikan indikator awal dari suatu model pelanggaran dan kesewenang-wenangan pejabat didaerah terutama Kepala Daerah.
 
Indikator tersebut menjadi semakin kuat jika kita bandingkan dengan produk Undang-undang yang status hukumnya lebih tinggi namun tidak ada larangan terhadap rakyat untuk tidak boleh membangun (sandang, pangan dan papan).

Ironisnya lagi, jika rakyat dilarang membangun didaerah tertentu namun Pemerintah dengan segala macam alasan bahkan alasaan itu susah diterima akal sehat - dapat saja langsung membangun tanpa memenuhi akidah kepentingan umum dan keselamatan lingkungan.

Di kota Baubau misalnya; Secara normatif, membangun disepanjang pantai Baubau yang sempit itu memang perlu dilakukan secara ekstra hati-hati karena dapat menimbulkan dapak yang merugikan rakyat masa depan. Umpama kata hal itu kita sepakati maka secara rasional Pemda (Walikota Baubau) harus memberikan contoh lebih awal kepada rakyatnya untuk tidak membangun sembarangan dengan cara menimbun laut.

Menimbun laut yang dilakukan sembarangan itu sangat mengundang kecurigaan karena Ordonantie Kelautan mengisyaratkan bahwa merubah garis pantai dalam bentuk apapun haruslah mendapat izin dari Dirjend Kelautan. Sementara hal itu diabaikan, rakyat Baubau yang memiliki persil tanah dipesisir pantai justeru tidak boleh membangun.

Di kota Raha, kabupaten Muna. Selain jatinya ludes di obrak - abrik setiap rezim Pemerintah Daerah, ekspolitasi penimbunan pantai dalam skala besar juga dilakukan pada saat Laode Moho (Ridwan B.Ae) menjadi Bupati. Penimbunan pantai yang menghisap pajak rakyat miliaran rupiah itu pun tidak pernah ditemukan adanya pengumuman telah mendapatkan izin dari Dirjend Kelautan.

Baik itu Baubau, Pasarwajo, Bombana dan daerah lainnya - semua proyek yang dilakukan atas kehendak terselubung sang Kepala Daerah dan menghirup pajak rakyat - selalu beraroma kecurangan. Lihat saja satu item kecurangan yang dilakukan Gubernur Nur Alam.

Membangun Masjid di tengah teluk Kendari itu, tujuannya untuk siapa ? Apakah benar rakyat Sulawesi Sengsara menghendaki di bangunkan Masjid Megah di tengah teluk ? Ataukah hal itu hanyalah bisikan dan impian dari seorang wanita bernama MANOHARA ?

Kasihan buanget rakyat Sultra itu, setiap saat bayar pajak (kecuali kentut yang tidak dipajak) hanya untuk kepentingan prestise seorang Gubernur di mata Perempuan. Jikapun prestise dimata Manohara itu dapat kita terima tapi bagaimana dengan ancaman terhadap keselamatan lingkungan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pada patok kayu bulat diameter 10 Cm yang ditancapkan diteluk Kendari, menghasilkan endapan lumpur setebal 5 Cm pertahun. Seingat saya, riset tersebut dilakukan pada rezim D Muchidin menjabat sebagai Wagub Sultra. Saat ini, seluruh tiang beton penyangga Masjid Nur Alam sudah selesai dipancang dan itu pertanda bahwa bencana khusus untuk masyarakat kota Kendari sudah dipelupuk mata.

Dinamika dan gerak pembangunan perumahan rakyat dikota Kendari baik secara perorangan maupun corporation tidak dapat dibendung apa lagi dihambat sementara secara signifikan, material tanah yang akan mengalir setiap saat di aliran sungai Wanggu dan anak sungai lainnya tak mungkin bisa dihentikan.

Kesimpulan, Gubernur Nur Alam membangun prestisenya diatas derita rakyat sembari memantik BOM WAKTU (bencana) untuk sebesar-besarnya KEKACAUAN rakyat. 

Apakah Kepala Daerah seperti H Nur Alam SE masih pantas dipercaya ? Yang pasti, jika terjadi banjir yang merusak rumah anda maka orang seperti itu (pencari prestise) tidak akan pernah datang membantu menyelamatkan barang-barang milik anda. Benar apa benar !!?? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar