Sabtu, 22 Januari 2011

Menerawang Keadilan di bawah SBY

Beberapa saat sebelum persidangan Gayus, pengacara Adnan Buyung Nasution (ABN) mengatakan hakim akan memvonis bijak. Apa benar?

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (19/1/2011), tidak mengabulkan tuntutan jaksa agar terdakwa Gayus Halomoan Tambunan dipenjara  20 tahun dan didenda Rp 500 juta. Mengapa hakim memvonis ringan Gayus? Albertina Ho, ketua majelis hakim, berkilah pihaknya telah mempertimbangkan dari segala segi baik kepentingan masyarakat, negara, maupun terdakwa.

Itu jelas lagu lama yaitu berkuasnya mafia peradilan. Hakim, pengacara dan jaksa sebelumnya sudah mengatur Gayus hanya akan dipenjara tujuh tahun. Tapi agar publik tidak curiga dan tidak marah maka jaksa diatur tetap menuntut 20 tahun. Itulah mafia peradilan dan semua dapat bagian uang dari Gayus. Bahwa misalnya dikatakan oleh hakim Albertina, Gayus tidak bertanggung jawab sendirian terkait kelalaiannya saat menangani keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (PT SAT) di Direktorat Jenderal Pajak, semua jelas hanya siasat dalam sidang pengadilan. Menurut hakim, atasan Gayus secara berjenjang seharusnya mengoreksi usul Gayus untuk menerima keberatan pajak PT SAT memang boleh-boleh saja. Tapi tidak berarti Gayus dihukum sangat ringan, hanya tujuh tahun, sementara dia telah merugikan uang negara, uang rakyat, ratusan milyar.

Disinilah pentingnya SBY sebagai kepala pemerintahan bertanggung jawab memfasilitasi penegakan hukum dengan benar. Bukankah SBY pernah berjanji memimpin sendiri dan langsung untuk penegakan hukum di negeri ini? Maka khususnya dalam setiap persidangan kasus korupsi kakap, harusnya SBY mengingatkan dan mengancam keras aparat hukum dan peradilan (polisi, jaksa, hakim dan pengcara) yang tidak  melaksanakan peradilan secara adil. Presiden hendaknya tidak hanya bisa mengatakan dia terkejut dengan vonis ringan Gayus. Tapi selama ini presiden selalu lepas tangan dan tidak mau campur tangan dalam proses peradilan seperti itu. Ini kekeliruan besar yang bisa membuat rakyat semakin frustrasi dan akhirnya turun jalan atau mengamuk dan memaksa dia turun dari kursi kekuasaan. Itu bukan hal yang tidak mungkin. Alasan presiden benar hanya kalau peradilan negeri ini adil dan tidak dikuasai mafia peradilan.

Kembali ke persidangan Gayus, perihal rekayasa kasus penyidikan asal-usul uang Rp 28 miliar yang berujung pada vonis bebas Gayus di Pengadilan Negeri Tangerang adalah sangat menggelikan dan sangat menohok rasa keadilan umum, meskipun benar bahwa menurut hakim kasus itu menjadi tanggung jawab bersama dengan para terdakwa lain yakni Kompol Arafat Enanie, AKP Sri Sumartini, Haposan Hutagalung, Lambertus Palang Ama, Andy Kosasih, dan Muhtadi Asnun. Apa itu juga adil? Maling buah coklat saja dihukum, maling satu dua ekor ayam juga dihukum, tapi kenapa koruptor uang negara milyaran seperti Gayus tetap bisa bebas atau hanya divonis sangat ringan. Dalam pemerintahan SBY saat ini rakyat yang semakin miskin itu hanya bisa menerawang ketidak adilan.  

Terkait dugaan tindak pidana korupsi uang Rp 28 miliar di rekening Gayus, kata Albertina, hakim tidak dapat menghukumnya lantaran tidak ada dalam dakwaan dan belum dibuktikan di persidangan. Pernyataan Albertina benar. Persoalannya adalah mengapa polisi dan jaksa tidak memberikan bukti-bukti cukup soal kejahatan Gayus dan atasan-atasannya? Tentu saja hakim lantas membuat alasan tidak menjatuhkan vonis hukuman berat, karena pertimbangan nilai hukum bahwa setiap hakim dalam vonisnya harus tetap mencerminkan keadilan proporsional. Ternyata hal demikian pun tetap bisa direkayasa.

Pertimbangan seperti hal-hal lain yang meringankan dimana majelis menilai Gayus memberikan keterangan yang jujur dalam hal-hal tertentu sehingga memperlancar jalannya persidangan, lantas bahwa Gayus belum pernah dihukum dan mempunyai anak-anak yang masih kecil yang memerlukan perhatian dan kasih saying, semua itu hal-hal biasa yang selalu ada dan menajdi pertimbangan hakim ketika menjatuhkan putusan. Begitu pula kata hakim, yang memberatkan Gayus adalah perbuatan Gayus bertentangan dengan program pemerintah dalam penyelenggaran negara yang bersih dan bebas dari KKN, itu juga hal biasa dan selalu ada ketika hakim menjatuhkan vonis: Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan. Bukan pertimbangan substatif. Jadi yang mengiris rasa keadilan untuk umum adalah mengapa koruptor besar seperti Gayus hanya dihukum tujuh tahun. Padahal setelah dipotong remisi, kemungkinan Gayus hanya akan dipenjara kira-kira 2,5 tahun. Kembali ke pernyataan ABN, benarkah hakim memvonis bijak? $ bicara. (artikel Kartika Wijaya). 

Baca lainnya di : 

http://pejabatindonesiapengacau.blogspot.com/  
http://pejabatdaerah.wordpress.com/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar