Rabu, 09 Februari 2011

Keberadaan Media "Online"

Pengamat : Media "On-Line" Tantangan Pers Indonesia
Rabu, 09 Februari 2011 15:33 WITA | Daerah | Dibaca 27 kali

Makassar (ANTARA News) - Keberadaan media "on-line" merupakan tantangan pers Indonesia, karena secara fungsional sama dengan media cetak dan elektronik, namun belum ada regulasinya.

"Karena itu, sebelum terlambat, momentum Hari Pers Nasional ini perlu melakukan evaluasi mendasar untuk mengakomodir media "on-line" baik dari segi fungsi maupun kelembagaan (badan hukum)," kata anggota Ombudsman Kota Makassar Laode Arumahi di Makassar, Rabu.

Menurut dia, evaluasi tersebut perlu dilakukan bersama antara masyarakat pers Indonesia, pemerintah, DPR, Dewan Pers maupun Organisasi Profesi Wartawan.

Sementara dari sisi pemberitaan pers, lanjut dia, secara umum pers tidak lagi memperjuangkan publik, karena sudah dipengaruhi oleh kepentingan kapital (bisnis) dan politik.

"Secara kelembagaan, media pers merupakan bagian dari unsur bisnis, diperparah lagi dengan keterlibatan pemilik dalam politik praktis," katanya.

Kondisi itu, kata dia, merupakan resiko liberalisme pers Indonesia, sehingga meskipun investor luar negeri belum diberi ruang, namun investor dalam negeri yang berotak kapitalis sudah merajalela di berbagai media cetak maupun elektronik.

Sementara mengenai penayangan siaran media elektronik terkait kasus SARA yang belakangan ini mengemuka, lanjut dia, hal itu dinilai melanggar Undang-undang dan Kode Etik Penyiaran, termasuk Kode Etik Jurnalistik.

"Karena tayangan itu dapat menyulut emosi massa yang pro-kontra atas dasar solidaritas setelah melihat tayangan yang disajikan ke publik," katanya.

Berkaitan dengan hal tersebut, hal itu menjadi tantangan institusi penegak hukum, termasuk Komisi Penyiaran Indonesia untuk menegakkan regulasi yang ada.

Menurut dia, kekerasan secara visual, ditambah dengan pilihan kata dan istilah yang disampikan melalui media justru menambah kekerasan itu sendiri.

"Itulah sebabnya, reporter atau wartawan harus paham KEJ dan Bahasa Jurnalistik terutama apa yang dikenal dengan "eufamisme" atau menghalusan kata tanpa mengurangi subtansi yang ingin disampaikan ke publik," ujarnya. (T.S036/S016) 

Bisa juga dibaca di TIMUR MERDEKA pada Laode Arumahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar